Monday, December 20, 2010

Konstelasi Tata Surya dalam Nibiru dan Kesatria Atlantis

Seperti terdampar di sebuah peradaban berteknologi tinggi dengan dimensi yang sangat berbeda. Sebuah masa belasan ribu tahun Sebelum Masehi di mana tak ada mesin-mesin diesel, listrik, internet, facebook, atau twitter namun manusia sanggup melayang di udara, memindahkah benda-benda dengan kekuatan pikiran, bahkan bisa menghilang lalu muncul di tempat yang ia inginkan. Jika saya dikirim ke sana sebagai seorang prajurit dan dibekali dengan senjata tercanggih dari era milenium sekalipun, saya tak yakin akan sanggup mengalahkan mereka.

Itulah kesan pertama saya ketika membaca novel terbaru Tasaro GK berjudul Nibiru dan Kesatria Atlantis. Buku setebal 690 halaman itu memaparkan sebuah bentuk kecanggihan teknologi yang sama sekali tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tokoh utamanya bernama Dhaca Suli yang tinggal di sebuah pulau bernama Kedhalu. Seperti semua manusia yang tinggal di pulau tersebut, Dhaca memiliki kemampuan yang disebut pugabha: tradisi olah tubuh yang bisa mendatangkan kekuatan tanpa batas. Ada 8 jenis pugabha yaitu pugabha nyegay, pesam, sutha, nyinaw, wanyis, kiyrany, bhelsuny, dan pugabha nyamal.pugabha bisa ditemukan di bagian akhir dari novel yang direncanakan akan terbit sebanyak 5 seri ini.  Penjelasan masing-masing

Hal pertama dari novel ini yang menurut saya sangat menarik adalah pemilihan nama tokoh dan tempat beserta kata-kata asing yang lumayan susah disebutkan. Terbaca seperti bahasa Sansekerta yang dikombinasikan dengan bahasa Jawa (padahal saya sama sekali tidak mengerti bahasa Sansekerta dan hanya sedikit paham bahasa Jawa, :D). Belakangan saya baru tahu bahwa kata-kata aneh yang disebut sebagai bahasa Kedhalu tersebut merupakan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dimodifikasi melalui rumus tertentu. Sebenarnya bukan hal baru dalam dunia novel, tapi tetap saja merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi saya.

Masuk ke Bab II, Persekutuan Raja-Raja, saya langsung terkesima dengan kisah Raja-Raja di bawah pimpinan Maharaja Solux. Lagi-lagi saya terkesan dengan pemilihan nama Raja-raja tersebut: Plugos, Meror, Marte, Tergog, Vernet, Netzi, Ur, Nibiru, Saternatez, dan Giovreb. Melihat konfigurasinya, saya langsung terasosiasi dengan konstelasi planet dalam Tata Surya. Maharaja Solux (saya duga kuat diturunkan dari kata solar = matahari), lalu ada Plugos yang pasti adalah modifikasi untuk Pluto, Ur untuk Uranus, dan Saternatez untuk Saturnus. Tapi kenapa ada 10 planet? Harusnya cuma ada 9 seperti yang diajarkan ketika saya masih SD. Sejenak saya berhenti membaca. Ah, kuncinya ternyata ada pada Nibiru yang kebetulan sekali tidak dimodifikasi menjadi nama lain. Nibiru, tentu saja mengacu kepada planet Nibiru, yang konon kabarnya adalah ‘kembaran’ planet Bumi yang setiap 5.013 tahun sekali akan datang ‘menjenguk’ saudara kembarnya (Tepok jidat waktu balik lagi membaca halaman yang sama karena ternyata sudah disebutkan di situ). Lalu, mengapa harus Raja Giovreb yang terkuat?* Saya mencoba mencari planet-planet lain, khususnya planet Bumi dalam nama raja-raja itu, namun tak berhasil.**

Lanjut membaca, saya dikenalkan dengan seorang tokoh bernama Lunez Muya (Apaaaa? Luna Maya?). Saya tersenyum. Awalnya saya menyayangkan pemilihan nama ini yang dikisahkan adalah seorang perempuan yang merupakan pendamping setia Raja Tergog, raja paling dibenci oleh Nibiru. Namun, setelah menyebutkan nama itu berkali-kali, saya berteriak kegirangan dalam hati. Satu planet lagi berhasil saya temukan. Lunez tentu adalah derivasi dari Lunar = bulan, satelit yang dengan setia mengorbit planet Bumi. Jadi, raja Tergog tentunya adalah planet Bumi. Dan, bukankah dikabarkan bahwa kedatangan Nibiru kelak adalah kiamat bagi bumi? Tentu tak heran jika Nibiru begitu membenci Bumi. Raja Tergog semakin terkonfirmasi sebagai planet Bumi. Di bagian lain ada senjata bernama cincin Saternatez yang tentunya mengacu kepada cincin yang melingkari planet Saturnus. Sayang, satelit-satelit dari planet-planet lain – juga Nemesis, yang konon adalah ‘kembaran’ matahari – tidak tersebut dalam novel ini (atau mungkin di seri selanjutnya?).

Buat saya, ini adalah sebuah ide yang sangat luar biasa; Tata Surya – yang dikombinasi dengan ide tentang Atlantis – dipersonifikasi menjadi Persekutan Raja-Raja dengan konflik dan detail yang tidak sembarangan diada-adakan. Pemilihan siapa menjadi siapa, hubungannya seperti apa, juga kejutan-kejutan di bagian-bagian akhir tidak ‘asal bikin’. Selalu ada penjelasan yang membuat saya manggut-manggut sambil ber-‘oooh gitu’. Saya jadi membayangkan bagaimana serunya jika novel ini difilmkan. Tentu tak akan kalah dengan serial Harry Potter atau Narnia (asal digarap dengan matang dan dikerjakan oleh para ahli film yang tidak ecek-ecek). Harapan saya – dan tentu harapan penikmat Nibiru di Indonesia, juga penulisnya sendiri – novel ini segera diterjemahkan ke bahasa Inggris, diterbitkan di Amerika, tampil di Oprah Winfrey Show, lalu difilmkan di Hollywood.
Setelah tamat membaca Nibiru seri pertama ini, saya spontan membandingkannya dengan 2 novel Tasaro GK sebelumnya: Galaksi Kinanthi (Salamadani, Januari 2009) dan Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan (Bentang Pustaka, Maret 2010). Di Galaksi Kinanthi dan Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan bertaburan kalimat-kalimat indah dengan metafora khas Tasaro GK, namun saya kesulitan menemukannya di Nibiru dan Kesatria Atlantis. Ciri khas Tasaro tetap menonjol, namun bagi yang memulai menikmati karya-karya Tasaro dengan terlebih dahulu membaca Nibiru dan Kesatria Atlantis, barangkali akan sedikit terkejut ketika membaca Galaksi Kinanthi dan Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan. Buat saya, ini adalah keluarbiasaan Tasaro GK yang lain. Mungkin akan sedikit aneh jika kalimat-kalimat romantis Ajuj buat Kinanthi dalam Galaksi Kinanthi atau Kashva kepada Astu dalam Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan diucapkan pula oleh Dhaca Suli ketika berbicara dengan Siraradi Luminya.

Saya tak habis pikir, bagaimana 3 karya besar dengan genre yang sangat berlainan satu sama lain lahir dari tangan satu orang dalam kurun waktu yang relatif singkat; Galaksi Kinanthi yang romantis, Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan yang religius, dan Nibiru yang penuh fantasi. Ketiganya – buat saya – adalah salah tiga dari novel-novel terbaik yang pernah lahir di negeri ini. Saya tak ragu lagi menobatkan Tasaro GK sebagai salah satu penulis fiksi terbaik di Indonesia saat ini (boleh dong pake standar pribadi, :-P). Saya pun jadi curiga, Sothap Bhepami, ‘reinkarnasi’ Raja Saternatez yang memiliki kemampuan menciptakan 8 jenis pugabha adalah Tasaro GK versi Nibiru. Apalagi, jika kelak ia bisa menghasilkan kumpulan cerpen yang tak kalah bagusnya dengan ketiga novel tadi (Mana? Manaa? Manaaa?).

Namun, saya sedikit ‘terganggu’ dengan lampiran peta di lembar terakhir buku ini. Mohon informasi sekaligus koreksi bila saya salah, namun saya tidak cukup yakin jika kondisi bumi pada masa sekitar 15.000 tahun lalu seperti yang ada pada peta tersebut, khususnya pada bagian seputaran Indonesia. Menurut peta tersebut (tahun 26.954 Kalender Raja-Raja atau tahun 13.359 SM), wilayah Papua masih menyatu dengan benua Australia dan Jawa, Sumatera, beserta Kalimantan masih menyatu dengan benua Asia. Sementara – lagi-lagi, correct me if I’m wrong – masa sekitar 15.000 tahun lalu adalah zaman es terakhir (20.000-10.000 tahun lalu) dalam kala pleistosen (1.8 juta-11.500 tahun lalu) di mana daratan-daratan yang kini dikenali sebagai gugusan pulau yang menyusun Indonesia sudah terbentuk. Jika peradaban Kedhalu mengacu kepada kurun waktu ketika Papua masih menyatu dengan Australia maka barangkali Dhaca Suli seharusnya hidup di masa yang lebih tua dari itu. Nama petanya pun menurut saya lebih tepat disebut Peta Bumi daripada Peta Dunia karena menyangkut ‘hal fisik’.

Juga, ada detail kurang penting di dua kata terakhir halaman pertama yang menurut saya kurang pas. Mengacu kepada lampiran peta di halaman belakang, Kedhalu berposisi di sekitar pulau Sumatera sekarang. Jika posisi garis khatulistiwa pada masa itu masih sama dengan posisi sekarang, maka tentu di Kedhalu tak akan pernah ada musim semi. Dan, yang paling mencuri rasa penasaran saya adalah sosok Kesatria Atlantis. Jika yang dimaksud adalah Dhaca Suli, maka sepertinya kurang pas. Dikisahkan bahwa Dhaca Suli adalah Raja Nibiru yang bangkit kembali sementara menurut data dari kitab Persekutuan Raja-Raja, Nibiru bertakhta di Kerajaan Pusat Bumi. Atlantis yang oleh orang Kedhalu disebut sebagai Nyathemaythibh adalah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Raja Tergog yang sayang sekali sangat sedikit dibahas dalam buku ini. Sepertinya saya harus membaca lagi bagian-bagian terakhir dengan lebih teliti.

Terlepas dari ‘gangguan-gangguan’ tersebut, Nibiru dan Kesatria Atlantis, bagi saya, adalah sebuah pencapaian Tasaro GK yang luar biasa. Tentu tak mudah lepas dari bayang-bayang keperkasaan J.K. Rowling dengan Harry Potter-nya, namun saya setuju dengan entah siapa yang mengatakan jika tak ada ide yang 100 % original di bumi ini. Dan rasanya, mimpi Tasaro untuk menghasilkan karya yang ‘masuk’ ke semua golongan usia, mulai terwujud melalui Nibiru dan Kesatria Atlantis ini. Tidak terlalu ‘berat’ untuk anak-anak, sekaligus tidak terlalu ‘ringan’ untuk pembaca dewasa (menurut gue). Amin.

*Mengapa Raja Giovreb yang terkuat? Barangkali karena Jupiter adalah planet terbesar dalam Tata Surya.
**Daftar lengkap nama-nama planet dalam Persekutuan Raja-Raja yang saya pecahkan setelah berkali-kali memelototi naskah Nibiru dan Kesatria Atlantis: Merkurius (Meror), Venus (Vernet), Bumi (Tergog), Mars (Marte), Jupiter (Giovreb), Saturnus (Saternatez), Uranus (Ur), Neptunus (Netzi), dan Pluto (Plugos). Semoga tidak ada yang tertukar!

Friday, March 19, 2010

Membaca Yesus Kristus melalui Muhammad


Judul: Muhammad saw., Lelaki Penggenggam Hujan
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I, Maret 2010
Tebal: 546 halaman

Setiap pagi, seorang lelaki dengan penuh kasih sayang melunakkan makanan dalam rongga mulutnya untuk kemudian disuapkan kepada seorang pengemis buta dan renta. Setiap pagi pula, lelaki yang selalu membawakan makanan untuk pengemis itu akan dijejali dengan nasihat yang sama. “Jangan engkau mendekati Muhammad karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir! Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya.” Selalu begitu setiap pagi, hingga si pengemis itu kenyang dan merasa bahwa ia telah membalas kebaikan lelaki itu dengan nasihat-nasihat yang selalu sama setiap pagi. Kelak, pengemis itu kemudian mengetahui bahwa lelaki yang telah menolongnya untuk bertahan dan melanjutkan hidup itu adalah lelaki yang sama yang selalu disebutnya orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Lelaki itu adalah Muhammad.

Nukilan bagian awal Bab 13 dari novel ‘Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan’ karya Tasaro GK di atas mengingatkan saya pada sebuah peristiwa yang terjadi ratusan tahun sebelumnya di zaman, tempat, dan pelaku berbeda. Kisah tentang seorang lelaki yang dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukannya, yang oleh prajurit Romawi dicambuki, diludahi, dan dipaksa memikul sendiri sepotong kayu di mana ia akan disalibkan, dan kemudian berdoa untuk orang-orang itu: Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Lelaki itu adalah Yesus Kristus.

Membaca buku setebal 546 halaman ini, khususnya bagian tentang Muhammad, berkali-kali membuat saya seperti membaca kisah-kisah Yesus dalam Perjanjian Baru. Tentu saja dengan latar, pelaku, dan adegan yang berbeda. “Jika kalian ingin melakukan pembalasan, balaslah sesuai dengan yang mereka lakukan kepadamu, tetapi sesungguhnya memberikan maaf itu jauh lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (hal. 38). Spontan saya teringat dengan kutipan ‘kasihilah musuhmu’ yang diajarkan Yesus kepada orang banyak dalam sebuah ‘Khotbah di Bukit’. Setelah mengecek Alkitab, ternyata ada di Matius pasal 5. “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (ay. 38-39). “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (ay. 44-45).

Banyak lagi. Kisah tentang Muhammad yang ‘terusir’ dari Makkah, tanah kelahirannya dan Yesus yang ‘ditolak’ di Nazaret, tempat asalnya atau ‘transformasi’ Umar bin Khattab dari pembenci menjadi sahabat Muhammad dan Saulus menjadi Paulus dalam Alkitab. Kisahnya boleh saja berbeda, tapi bagi saya esensinya kongruen. Semacam ‘pengulangan’ yang membuat saya berpikir, apakah saya sedang membaca kisah Yesus dalam versi yang berbeda? Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ide tentang reinkarnasi, bahwa Yesus kemudian lahir kembali menjadi Muhammad beratus-ratus tahun sesudahnya. Hanya saja, praktik-praktik tentang cinta kasih yang ditebarkan Yesus Kristus rasanya seperti dibentangkan kembali di hadapan saya melalui kisah-kisah Muhammad dalam buku ini.

Bagian-bagian awal novel ini mengisahkan tentang perang Uhud dan perang Badar di mana Muhammad terlibat di dalamnya yang bagi saya sama sekali berbeda nuansa dan motivasi dengan perang yang ditujukan untuk perluasan wilayah atau penjajahan. Ini adalah perang yang sungguh-sungguh tak bisa dihindari oleh Muhammad demi kelestarian sebuah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepadanya. Dengan detail, Tasaro berhasil menggambarkan kondisi perang yang membuat anda akan merasa seperti terlibat di dalamnya. Menciumi amis darah dan merasakan tebasan pedang seujung kuku dari kuping anda. Namun, di bagian yang lain, anda akan mendapati bahwa jika saja Muhammad memiliki pilihan untuk bernegosiasi dan menghindari pertumpahan darah, maka beliau akan memilih itu.

Selain kisah tentang Muhammad, novel ini juga diperindah dengan seorang tokoh lain bernama Kashva, pemuda yang dijuluki Sang Pemindai Surga, orang kepercayaan Khosrou, raja Persia. Berawal dari sebuah surat yang dikirimkan seorang sahabat kepadanya, Kashva kemudian akan menuntun anda dalam sebuah perjalanan spiritual demi menemukan Astvat-Ereta, seorang Nabi yang ternubuat dalam ajaran Zoroaster yang diimaninya. Pada perayaan musim bunga di bangsal Apadana, Kashva membuat murka raja Persia dengan mengumumkan kedatangan sang Astvat-Ereta, Nabi yang dalam kitab-kitab suci agama lain disebut Himada, Shalom, Namiuchi, dan Maitreya.

Anda kemudian akan dibawa menjelajahi eksotisme Persia, India, Tibet, dan tempat-tempat lainnya dalam perjalanan Kashva demi menemukan Nabi yang dijanjikan itu dan menghindari kejaran tentara Khosrou yang menginginkan kematiannya. Kisahnya berjalan paralel dengan kisah Muhammad di Arab meski tidak pernah bersinggungan secara langsung. Bagian tentang Kashva kemudian akan diisi dengan percakapan-percakapan lintas agama dengan sahabat-sahabatnya, juga dengan Astu, perempuan yang dicintainya dengan segenap akal dan hatinya. Dengan kepiawaiannya, Tasaro membuat saya berkali-kali terperangah mendapati kejutan-kejutan yang tak terduga tentang Kashva. Hanya saja, akhir kisahnya dalam buku ini membuat saya geregetan dan kesal setengah mati karena menurut saya belum selesai dan sangat menggantung. Berbeda dengan kisah tentang Muhammad yang diakhiri dengan kisah yang sangat pas dan menarik.

Kalau boleh saya kategorikan, novel ini adalah sebuah fiksi-sejarah agama. Bagian tentang Kashva adalah fiksi sedangkan kisah tentang Muhammad adalah sejarah Islam. Bagi saya pribadi, kombinasi format seperti ini menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dinikmati. Mungkin membaca Sirah Nabawiyah atau buku-buku Karen Armstrong tentang Muhammad terlalu berat bagi saya sehingga ‘Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan’ menjadi alternatif yang tepat. Bagi saya yang takbanyak mengetahui tentang Islam dan Muhammad, Tasaro berhasil menghadirkan keduanya menjadi lebih mudah diakrabi dan dikenali melalui penggambaran yang detail.

Satu hal yang perlu saya garisbawahi setelah membaca buku ini adalah bahwa sama sekali tidak ada tendensi untuk mendoktrin bahwa Islam lebih ‘benar’ atau lebih ‘baik’ dari Kristen, bahwa Muhammad lebih ‘hebat’ dari Yesus, Buddha, Musa, atau tokoh agama lainnya. Menurut saya, buku ini ‘hanya’ mengenalkan Muhammad dengan keseharian dan kehidupannya. Apa adanya. Jadi, bagi saya buku ini tidaklah dimaksudkan sebagai salah satu bentuk ‘Islamisasi’. Setidaknya bagi saya setelah beberapa kali membacanya hingga tuntas. Harapan saya, begitu pula dengan anda, yang mengimani agama selain Islam.

Namun, ada tiga hal dari buku ini yang sedikit mengganggu saya meskipun tidak esensial. Pertama, tambahan ‘sebuah novel biografi’ di sampul depannya. Sepengetahuan saya, biografi seseorang mencakup seluruh bagian hidupnya mulai dari lahir hingga meninggal dalam urutan yang kronologis. Di dalam buku ini, kisah Muhammad tidak dikisahkan dengan runut, tapi berpindah-pindah dengan alur maju-mundur. Ditambah lagi, rasanya belum semua kisah tentang Muhammad terangkum dalam buku ini. Kedua, keterangan tentang Kashva yang pergi dari Suriah di sampul belakang. Entah karena kekeliruan atau kesengajaan, tapi seharusnya Kashva pergi dari Persia. Jika saja tidak tertulis di bagian sampul, kalimat pertama pula, mungkin tidak akan mengganggu dan bisa dimaklumi sebagai kekurangtelitian. Ketiga, dan sangat-sangat tidak esensial, pengaturan margin kiri pada setiap halaman awal bab. Selalu saja agak masuk sedikit sehingga tidak vertikal dengan keterangan waktu atau tempat sebagai pembuka bab. Bagi saya hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.

Izinkan saya mengutip sebuah ajaran Yesus dalam ‘Khotbah di Bukit’ untuk mengakhiri catatan kecil ini. “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Matius 7:1-2). Bacalah buku ini dengan akal dan hati yang terbuka, semoga anda akan mengenali dan mengagumi Muhammad tanpa perlu merasa sedang di-Islamkan.

Di antara pepohonan nipah rawa-rawa Delta Mahakam
19-20 Maret 2010