Friday, March 19, 2010

Membaca Yesus Kristus melalui Muhammad


Judul: Muhammad saw., Lelaki Penggenggam Hujan
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan I, Maret 2010
Tebal: 546 halaman

Setiap pagi, seorang lelaki dengan penuh kasih sayang melunakkan makanan dalam rongga mulutnya untuk kemudian disuapkan kepada seorang pengemis buta dan renta. Setiap pagi pula, lelaki yang selalu membawakan makanan untuk pengemis itu akan dijejali dengan nasihat yang sama. “Jangan engkau mendekati Muhammad karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir! Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya.” Selalu begitu setiap pagi, hingga si pengemis itu kenyang dan merasa bahwa ia telah membalas kebaikan lelaki itu dengan nasihat-nasihat yang selalu sama setiap pagi. Kelak, pengemis itu kemudian mengetahui bahwa lelaki yang telah menolongnya untuk bertahan dan melanjutkan hidup itu adalah lelaki yang sama yang selalu disebutnya orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Lelaki itu adalah Muhammad.

Nukilan bagian awal Bab 13 dari novel ‘Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan’ karya Tasaro GK di atas mengingatkan saya pada sebuah peristiwa yang terjadi ratusan tahun sebelumnya di zaman, tempat, dan pelaku berbeda. Kisah tentang seorang lelaki yang dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukannya, yang oleh prajurit Romawi dicambuki, diludahi, dan dipaksa memikul sendiri sepotong kayu di mana ia akan disalibkan, dan kemudian berdoa untuk orang-orang itu: Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Lelaki itu adalah Yesus Kristus.

Membaca buku setebal 546 halaman ini, khususnya bagian tentang Muhammad, berkali-kali membuat saya seperti membaca kisah-kisah Yesus dalam Perjanjian Baru. Tentu saja dengan latar, pelaku, dan adegan yang berbeda. “Jika kalian ingin melakukan pembalasan, balaslah sesuai dengan yang mereka lakukan kepadamu, tetapi sesungguhnya memberikan maaf itu jauh lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (hal. 38). Spontan saya teringat dengan kutipan ‘kasihilah musuhmu’ yang diajarkan Yesus kepada orang banyak dalam sebuah ‘Khotbah di Bukit’. Setelah mengecek Alkitab, ternyata ada di Matius pasal 5. “Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (ay. 38-39). “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (ay. 44-45).

Banyak lagi. Kisah tentang Muhammad yang ‘terusir’ dari Makkah, tanah kelahirannya dan Yesus yang ‘ditolak’ di Nazaret, tempat asalnya atau ‘transformasi’ Umar bin Khattab dari pembenci menjadi sahabat Muhammad dan Saulus menjadi Paulus dalam Alkitab. Kisahnya boleh saja berbeda, tapi bagi saya esensinya kongruen. Semacam ‘pengulangan’ yang membuat saya berpikir, apakah saya sedang membaca kisah Yesus dalam versi yang berbeda? Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ide tentang reinkarnasi, bahwa Yesus kemudian lahir kembali menjadi Muhammad beratus-ratus tahun sesudahnya. Hanya saja, praktik-praktik tentang cinta kasih yang ditebarkan Yesus Kristus rasanya seperti dibentangkan kembali di hadapan saya melalui kisah-kisah Muhammad dalam buku ini.

Bagian-bagian awal novel ini mengisahkan tentang perang Uhud dan perang Badar di mana Muhammad terlibat di dalamnya yang bagi saya sama sekali berbeda nuansa dan motivasi dengan perang yang ditujukan untuk perluasan wilayah atau penjajahan. Ini adalah perang yang sungguh-sungguh tak bisa dihindari oleh Muhammad demi kelestarian sebuah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepadanya. Dengan detail, Tasaro berhasil menggambarkan kondisi perang yang membuat anda akan merasa seperti terlibat di dalamnya. Menciumi amis darah dan merasakan tebasan pedang seujung kuku dari kuping anda. Namun, di bagian yang lain, anda akan mendapati bahwa jika saja Muhammad memiliki pilihan untuk bernegosiasi dan menghindari pertumpahan darah, maka beliau akan memilih itu.

Selain kisah tentang Muhammad, novel ini juga diperindah dengan seorang tokoh lain bernama Kashva, pemuda yang dijuluki Sang Pemindai Surga, orang kepercayaan Khosrou, raja Persia. Berawal dari sebuah surat yang dikirimkan seorang sahabat kepadanya, Kashva kemudian akan menuntun anda dalam sebuah perjalanan spiritual demi menemukan Astvat-Ereta, seorang Nabi yang ternubuat dalam ajaran Zoroaster yang diimaninya. Pada perayaan musim bunga di bangsal Apadana, Kashva membuat murka raja Persia dengan mengumumkan kedatangan sang Astvat-Ereta, Nabi yang dalam kitab-kitab suci agama lain disebut Himada, Shalom, Namiuchi, dan Maitreya.

Anda kemudian akan dibawa menjelajahi eksotisme Persia, India, Tibet, dan tempat-tempat lainnya dalam perjalanan Kashva demi menemukan Nabi yang dijanjikan itu dan menghindari kejaran tentara Khosrou yang menginginkan kematiannya. Kisahnya berjalan paralel dengan kisah Muhammad di Arab meski tidak pernah bersinggungan secara langsung. Bagian tentang Kashva kemudian akan diisi dengan percakapan-percakapan lintas agama dengan sahabat-sahabatnya, juga dengan Astu, perempuan yang dicintainya dengan segenap akal dan hatinya. Dengan kepiawaiannya, Tasaro membuat saya berkali-kali terperangah mendapati kejutan-kejutan yang tak terduga tentang Kashva. Hanya saja, akhir kisahnya dalam buku ini membuat saya geregetan dan kesal setengah mati karena menurut saya belum selesai dan sangat menggantung. Berbeda dengan kisah tentang Muhammad yang diakhiri dengan kisah yang sangat pas dan menarik.

Kalau boleh saya kategorikan, novel ini adalah sebuah fiksi-sejarah agama. Bagian tentang Kashva adalah fiksi sedangkan kisah tentang Muhammad adalah sejarah Islam. Bagi saya pribadi, kombinasi format seperti ini menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dinikmati. Mungkin membaca Sirah Nabawiyah atau buku-buku Karen Armstrong tentang Muhammad terlalu berat bagi saya sehingga ‘Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan’ menjadi alternatif yang tepat. Bagi saya yang takbanyak mengetahui tentang Islam dan Muhammad, Tasaro berhasil menghadirkan keduanya menjadi lebih mudah diakrabi dan dikenali melalui penggambaran yang detail.

Satu hal yang perlu saya garisbawahi setelah membaca buku ini adalah bahwa sama sekali tidak ada tendensi untuk mendoktrin bahwa Islam lebih ‘benar’ atau lebih ‘baik’ dari Kristen, bahwa Muhammad lebih ‘hebat’ dari Yesus, Buddha, Musa, atau tokoh agama lainnya. Menurut saya, buku ini ‘hanya’ mengenalkan Muhammad dengan keseharian dan kehidupannya. Apa adanya. Jadi, bagi saya buku ini tidaklah dimaksudkan sebagai salah satu bentuk ‘Islamisasi’. Setidaknya bagi saya setelah beberapa kali membacanya hingga tuntas. Harapan saya, begitu pula dengan anda, yang mengimani agama selain Islam.

Namun, ada tiga hal dari buku ini yang sedikit mengganggu saya meskipun tidak esensial. Pertama, tambahan ‘sebuah novel biografi’ di sampul depannya. Sepengetahuan saya, biografi seseorang mencakup seluruh bagian hidupnya mulai dari lahir hingga meninggal dalam urutan yang kronologis. Di dalam buku ini, kisah Muhammad tidak dikisahkan dengan runut, tapi berpindah-pindah dengan alur maju-mundur. Ditambah lagi, rasanya belum semua kisah tentang Muhammad terangkum dalam buku ini. Kedua, keterangan tentang Kashva yang pergi dari Suriah di sampul belakang. Entah karena kekeliruan atau kesengajaan, tapi seharusnya Kashva pergi dari Persia. Jika saja tidak tertulis di bagian sampul, kalimat pertama pula, mungkin tidak akan mengganggu dan bisa dimaklumi sebagai kekurangtelitian. Ketiga, dan sangat-sangat tidak esensial, pengaturan margin kiri pada setiap halaman awal bab. Selalu saja agak masuk sedikit sehingga tidak vertikal dengan keterangan waktu atau tempat sebagai pembuka bab. Bagi saya hal ini sedikit mengganggu kenikmatan membaca.

Izinkan saya mengutip sebuah ajaran Yesus dalam ‘Khotbah di Bukit’ untuk mengakhiri catatan kecil ini. “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Matius 7:1-2). Bacalah buku ini dengan akal dan hati yang terbuka, semoga anda akan mengenali dan mengagumi Muhammad tanpa perlu merasa sedang di-Islamkan.

Di antara pepohonan nipah rawa-rawa Delta Mahakam
19-20 Maret 2010